Sabtu, 10 Desember 2011

QADARIYAH DAN JABARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Memahami persoalan Jabariyah dan Qadariyah yang menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam sejarah teologi Islam, dapat dilihat dari dua sisi pandang, yang pertama adalah sosiologis masyarakat Arab dan kedua yaitu apa yang kita sebut dengan institusi atau aliran pemahaman.
Kondisi sosiologis masyarakat Arab, dengan suasana teriknya panas dan tanah berupa padang pasir tandus, menjadikan mereka tidak banyak menemukan cara untuk merubah hidup ke arah yang lebih baik. Hal inilah kemudian menggiring pemahaman jabary atau fatalism ke dalam paradigma berfikir mereka.
Disamping itu, kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniyat-Nya juga mendorong kuatnya pola fikir tersebut.
Pola fikir masyarakat Arab seperti tersebut di atas, menjadi sebuah aliran(institusi) setelah muncul orang (figur) yang menguatkan dan mengembangkan pemahaman tersebut. Tertulis dalam buku-buku sejarah, dua aliran yang salingbertentangan dalam hal pemikiran teologi yaitu Jabariyah dan Qadariyah.
Makalah ini akan membahas persoalan teologi kedua aliran tersebut, yaitu asal-usul, dasar ajaran dan perbandingan pemikiran teologi terkait dengan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, dengan lebih mengedepankan telaah institutif, dan tidak secara sosiologis.

BAB II
LANDASAN TEORI


A. Asal – Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-Insan Majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Kemudian kata Jabariyah juga ada berasal dari bahasa Arab, yaitu jabr yang artinya “keharusan” , istilah ini ditujukan kepada pengikut aliran Jabariyyah diantara teoritikus muslim masa awal yang mempertahankan determinisme sebagai lawan dari paham free will (kemauan bebas). Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengajarkan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah di tentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan paham Al-Jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokurtural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia mengembangkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang di kungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka terhadap alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas, yang terlihat dalam pristiwa sejarah berikut ini.
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang memperdebatkannya, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin Khatab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar, tidak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala ada siksa sebagai balasan amal per F��
Artinya:
“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
(Q.S. Ash-Shaffat [37]:96)


       
Artinya:
“Bukanlah engkau yang melontar ketika melontar (musuh), tetapi Allah lah yang melontar mereka” (Q.S. Al-Anfal [8]:17)

     
Artinya:
“Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendakinya”
(Q.S. Al-Insan [76]:30)
B. Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
Menurut Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun,yang dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Orang irak yang dimaksud yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Sementara itu, W.Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Dan menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khilafah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri (642-728) sekitar tahun 700 M yang juga merupakan anak seorang tahanan dari Irak. Ia lahir di Medinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini.
Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu sangat sederhana dan jauh dari pengetahuan. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya, faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangant mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.






BAB III
PEMBAHASAN

A. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini.
a. Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut.
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
2. Surga dan neraka tidak kekal.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan diri dalam hati.
4. Kalam tuhan adalah mahluk.
a. Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibsarkan di dalam lingkungan Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk di kembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut.
1. Al-Qur’an itu adalah mahluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti bicara, melihat dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang di kendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang di ciptakan oleh Tuhan. Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini :



a. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Dengan itu, dalam pandangan An-Najjar manusia tidak lagi seperti wayang yang bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia mempunayi efek untuk mewujudkan perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar
Dengan nama lengkap Dhirar bin Amr. Pendapatnya sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Secara tegas Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat di timbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya di timbulkan oleh tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat di terima setelah Nabi adalah ijtihad.
B. Doktrin-Doktrin Qadariyah
Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas egala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, baik itu perbuatan yang baik maupun perbuatan jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapat pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam pfaham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta dan seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manuia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, dll. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat terampil membuat sesuatu.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini.
     
Artinya:
“Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah dia,dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.” (Q.S. Al-Kahfi [18]:29)
              
Artinya:
“Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada perang Badar), lalu kamu berkata: Dari manakah bahaya ini? Katakanlah, sebabnya dari kesalahan kamu sendiri.” (Q.S. Ali Imran [3]:165)
         
Artinya:
“Seseungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d [13]:11)



      
Artinya:
“Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.” (Q.S. An-Nisa [4]:111)

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari semua pembahasan yang tertera di atas mengenai aliran kalam jabariyah dan qadariyah dapat kita simpulkan, yakni bahwa diantara kedua aliran kalam jabariyah dan qadariyah masing-masingnya pendapat yang berbeda kemudian disinilah menimbulkan perbedaan pendapat, yakni yang pertama adalah bahwa aliran jabariyah ini berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai perbuatan dan semua keadaan yang ada di alam semesta ini merupakan kehendak Allah atau sgala sesuatunya sudah ditentukan oleh allah (taqdir), sedangkan aliran kalam qadariyah semuanya bertolak belakang dengan aliran jabariyah, yakni bahwa aliran qadariyah mempercayai segala sesuatu yang dilakukan makhluknya itu adalah kehendaknya sendiri.












DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihin, Drs, M.Ag. Rozak Abdul, Drs, M.Ag. (2006) Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia.
Nasution, Harun. (1986) Teologi Islam, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Glasse, Cyril. (2002) Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.